Alkisah, seorang Tukang Kayu yang merasa sudah tua dan berniat untuk
pensiun dari profesinya sebagai Tukang Kayu yang sudah ia jalani selama
puluhan tahun. Ia ingin menikmati masa tuanya bersama istri serta anak
cucunya. Sebelum memutuskan untuk berhenti bekerja, ia sebelumnya
menyadari bahwa ia akan kehilangan penghasilan rutin yang setiap bulan
ia terima. Bagaimana pun itu, ia lebih merasakan dan mementingkan
tubuhnya yang sudah termakan usia karena ia merasa tidak dapat lagi
melakukan aktivitas seperti tahun-tahun sebelumnya.
Suatu hari, kemudian ia mengatakan rencana ingin pensiun kepada
mandornya. “Saya mohon maaf Pak, tubuh saya rasanya sudah tidak seperti
dulu, saya sudah tidak kuat lagi untuk menopang beban-beban berat di
pundak saya saat bekerja..”.
Setelah sang mandor mendengar niat Tukang Kayu tersebut, ia merasa
sedih. Karena sang mandor akan kehilangan salah satu Tukang Kayu
terbaiknya, ahli bangunan handal yang dimiliki dalam timnya. Namun
apalah daya, mandor tidak dapat memaksa untuk mengurungkan niat si
Tukang Kayu untuk berhenti bekerja.
Terlintas dalam fikiran sang mandor, untuk meminta permintaan
terakhir sebelum dirinya pensiun. Sang mandor memintanya untuk sekali
lagi membangun sebuah rumah untuk yang terakhir kalinya. Untuk sebuah
proyek dimana sebelum Tukang Kayu tersebut berhenti bekerja.
Akhirnya, dengan berat hati Tukang Kayu menyanggupi permintaan
mandornya meskipun ia merasa kesal karena jelas-jelas dirinya sudah
bicarakan akan segera pensiun.
Di balik pengerjaan proyek terakhirnya, ia berkata dalam hati bahwa
dirinya tidak akan mengerjakannya dengan segenap hati. Sang mandor hanya
tersenyum dan mengatakan pada Tukang Kayu pada hari pertama ketika
proyeknya dikerjakan, “Seperti biasa, aku sangat percaya denganmu. Jadi,
kerjakanlah dengan yang terbaik. Seperti saat-saat kemarin kau bekerja
denganku. Bahkan, dalam proyek terakhir ini kamu bebas membangun dengan
semua bahan-bahan yang terbaik yang ada”.
Tukang Kayu itupun akhirnya memulai pekerjaan terakhirnya dengan
malas-malasan. Bahkan dengan asal-asalan ia membuat rangka bangunan. Ia
malas mencari, maka ia menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas
rendah. Sangat disayangkan, karena ia memilih cara yang buruk untuk
mengakhiri karirnya.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya, rumah itupun selesai. Ditemani
Tukang Kayu tersebut, sang mandor datang memeriksa. Ketika sang mandor
memegang gagang daun pintu depan hendak membuka pintu, ia lalu berbalik
dan berkata, “Ini adalah rumahmu, hadiah dariku untukmu”.
Betapa kagetnya si Tukang Kayu. Ia sangat menyesal. Kalau saja sejak
awal ia tahu bahwa ia sedang membangun rumahnya, ia akan mengerjakannya
dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, sekarang ia harus tinggal di sebuah
rumah yang ia bangun dengan asal-asalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar